Lalu apa arti pahlawan sesungguhnya ?
Muncul
sebuah pertanyaan, apakah tindakan kepahlawanan hanya terkait tindakan
fisik, perlawanan yang menggunakan senjata, untuk, membela
kebenaran/tanah air, seperti merebut dan mempertahankan kemerdekaan?
lalu apa makna sikap dan tindak kepahlawanan dan apa pula relevansinya
dengan kehidupan kita sehari-hari pada masa kini?
Secara bahasa kata Pahlawan berarti orang atau kelompok orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988), dari pengertian ini , ada tiga aspek kepahlawanan, yakni: Keberanian, Pengorbanan dan membela kebanaran. Jadi, pahlawan memang selalu menuju individu atau kelompok orang yang melakukan ketiga aspek tindakan kepahlawanan tersebut.
“Membela kebenaran” tentu saja suatu hal yang tidak mudah dirumuskan, dalam hal ini, kebenaran menurut versi siapa?. Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajahan, segala sikap dan tindakan menentang pemerintah kolonial dianggap sebagai bentuk kepahlawanan, siapapun yang melawan, memberontak terhadap colonial akan disebut pahlawan. Maka munculah sederet nama yang dulunya dianggap pemberontak oleh pemerintah Belanda. oleh pemerintah Republik Indonesia diberi gelar Pahlawan Nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Cut Nyak Dien, Patimura, Sultan Ageng Tirtayasa dll.
Secara bahasa kata Pahlawan berarti orang atau kelompok orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988), dari pengertian ini , ada tiga aspek kepahlawanan, yakni: Keberanian, Pengorbanan dan membela kebanaran. Jadi, pahlawan memang selalu menuju individu atau kelompok orang yang melakukan ketiga aspek tindakan kepahlawanan tersebut.
“Membela kebenaran” tentu saja suatu hal yang tidak mudah dirumuskan, dalam hal ini, kebenaran menurut versi siapa?. Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajahan, segala sikap dan tindakan menentang pemerintah kolonial dianggap sebagai bentuk kepahlawanan, siapapun yang melawan, memberontak terhadap colonial akan disebut pahlawan. Maka munculah sederet nama yang dulunya dianggap pemberontak oleh pemerintah Belanda. oleh pemerintah Republik Indonesia diberi gelar Pahlawan Nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Cut Nyak Dien, Patimura, Sultan Ageng Tirtayasa dll.
Bagaimana dengan era masa kini?
Masih adakah peluang untuk menjadi Pahlawan, pejuang masyarakat? Tentu
saja peluang tersebut masih terbuka, bahkan jauh lebih luas. Namun tentu
saja, bentuk perjuangannya jelas sangat berbeda. Jika di era pasca
perang Dunia II kepahlawanan diwujudkan lewat perjuangan fisik melawan
penjajah, maka di era kini kepahlawanan bisa dilakukan dengan membangun
tatanan masyarakat yang lebih beradab, setara dalam segala hal, hidup
damai dalam pergaulan, baik antar pribadi, kelompok mauipun antar bangsa
Disadari atau tidak bentuk penjajahan yang terjadi sekarang jauh lebih komplek dan rumit contoh dari sisi ekonomi, bangsa kita telah terjebak oleh ekonomi kapitalis sehingga masyarakat tidak ikut merasakan kesejahteraan, kemiskinan semakin meluas dan bertambah parah. Dari sisi Pendidikan, biaya pendidikan semakin mahal, sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh orang yang mempunyai kemampuan finansial yang tinggi pula. Dari sisi Sosial Budaya, terutama di kalangan generasi muda pelajar dan Mahasiswa. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik.
Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni dengan keberadaan budayanya. Termasuk didalamnya tentang pentingnya memberikan filter tentang perilaku-perilaku yang negatif, yang antara lain; minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, sex bebas, dan lain-lain. Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menghawatirkan. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Belum lagi tayangan film yang bikin otak remaja teracuni dengan pesan sesatnya. Ditambah lagi, maraknya tabloid dan majalah yang memajang gambar “sekwilda”, alias sekitar wilayah dada; dan gambar “bupati”, alias buka paha tinggi-tinggi. Konyolnya, pendidikan agama di sekolah-sekolah ternyata tidak menggugah kesadaran remaja untuk berfikir kritis dan inovatif.
Dari sisi kemanusiaan, konflik-konflik bernuansa SARA juga masih kita jumpai dimana-mana dan ini menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi , jika hal itu tidak dikelola dengan baik bahkan justru menjadi dagangan politik. Jika tidak diikuti sikap kedewasaan dalam berdemokrasi, apa saja bisa terjadi, termasuk memperdagangkan sentimen SARA . dan masih banyak lagi penjajahan-penjajahan dalam bentuk lainnya yang tidak terangkum dalam tulisan ini. Untuk itu dibutuhkan pejuang-pejuang dalam bentuk baru, dibutuhkan Pahlawan-Pahlawan sejati, tidak lagi mengangkat senjata, tidak lagi berhadapan secara fisik tapi dalam bentuk abstrak, tidak bisa dilihat oleh mata kepala tapi hanya bisa dilihat oleh mata hati dengan menggunakan olah pikir.
Disadari atau tidak bentuk penjajahan yang terjadi sekarang jauh lebih komplek dan rumit contoh dari sisi ekonomi, bangsa kita telah terjebak oleh ekonomi kapitalis sehingga masyarakat tidak ikut merasakan kesejahteraan, kemiskinan semakin meluas dan bertambah parah. Dari sisi Pendidikan, biaya pendidikan semakin mahal, sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh orang yang mempunyai kemampuan finansial yang tinggi pula. Dari sisi Sosial Budaya, terutama di kalangan generasi muda pelajar dan Mahasiswa. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik.
Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni dengan keberadaan budayanya. Termasuk didalamnya tentang pentingnya memberikan filter tentang perilaku-perilaku yang negatif, yang antara lain; minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, sex bebas, dan lain-lain. Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menghawatirkan. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Belum lagi tayangan film yang bikin otak remaja teracuni dengan pesan sesatnya. Ditambah lagi, maraknya tabloid dan majalah yang memajang gambar “sekwilda”, alias sekitar wilayah dada; dan gambar “bupati”, alias buka paha tinggi-tinggi. Konyolnya, pendidikan agama di sekolah-sekolah ternyata tidak menggugah kesadaran remaja untuk berfikir kritis dan inovatif.
Dari sisi kemanusiaan, konflik-konflik bernuansa SARA juga masih kita jumpai dimana-mana dan ini menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi , jika hal itu tidak dikelola dengan baik bahkan justru menjadi dagangan politik. Jika tidak diikuti sikap kedewasaan dalam berdemokrasi, apa saja bisa terjadi, termasuk memperdagangkan sentimen SARA . dan masih banyak lagi penjajahan-penjajahan dalam bentuk lainnya yang tidak terangkum dalam tulisan ini. Untuk itu dibutuhkan pejuang-pejuang dalam bentuk baru, dibutuhkan Pahlawan-Pahlawan sejati, tidak lagi mengangkat senjata, tidak lagi berhadapan secara fisik tapi dalam bentuk abstrak, tidak bisa dilihat oleh mata kepala tapi hanya bisa dilihat oleh mata hati dengan menggunakan olah pikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar